Harga Gas dan Listrik Thailand dan Vietnam Lebih Murah dari RI
Pemerintah tengah berjuang menurunkan harga gas industri di Indonesia di bawah US$ 6 per MMBTU. Kebijakan tersebut terus dikaji pemerintah karena berpengaruh pada daya saing produk buatan industri dalam negeri.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perindustrian dan Bidang Perdagangan Kadin Indonesia, Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartanto menyatakan bahwa harga gas industri dan listrik di Indonesia lebih mahal dibanding Thailand dan Vietnam sehingga tidak
dapat bersaing.
Sebagai contoh, katanya, di Thailand harga gas indeksnya 100 persen, di Vietnam 120 persen, tapi di Indonesia mencapai 170 persen. Sedangkan harga listrik, di Thailand indeksnya 100 persen, Vietnam 70 persen sebagai kompensasi harga gas yang sedikit mahal, tapi di Indonesia lebih mahal 150 persen.
"Jadi kita tidak kompetitif dengan Thailand dan Vietnam dari harga gas dan listrik. Belum lagi persoalan dwelling time, dan lainnya yang bikin kita tidak kompetitif," jelas Airlangga di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (20/9/2016).
Untuk itu, diakuinya, pemerintah akan menurunkan harga gas industri dari saat ini US$ 12 per MMBTU menjadi di bawah US$ 6. "Harga gas US$ 6 masih ketinggian, jadi kalau bisa lebih rendah dari US$ 6. Mudah-mudahan bisa secepatnya," tutur Airlangga.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani menambahkan, selama satu dekade, Indonesia terlena dengan tingginya harga komoditas tanpa memikirkan pembangunan dan pengembangan industri nasional.
"Kita makin mengalami deindustrialisasi jika harga gas industri masih tinggi. Sekarang saja US$ 10-US$ 12 per MMBTU, sedangkan Singapura dan Jepang tidak punya raw material-nya bisa jual harga gas US$ 6-US$ 5 per MMBTU, jadi ini penting diperhatikan," jelas Rosan.
Kadin Indonesia, katanya, merekomendasikan perbaikan struktural industri Indonesia melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing industri berbasis sumber daya alam, yakni:
- Perlunya kebijakan industrialisasi yang konsisten dan terintegrasi dengan kebijakan sektor lain (perdagangan, SDM, dan teknologi)
- Memperbaiki kelemahan perusahaan pemerintah menjadi efisien, tidak ada korupsi, menghilangkan perilaku rent–seeking dan membuka proteksi industri dalam jangka panjang bagi perkembangan sektor swasta
- Mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM), kegiatan riset dan pengembangan (R&D) dengan melibatkan swasta atau pelaku usaha. Serta memberi insentif fiskal untuk mendorong kegiatan inovatif pada perusahaan swasta
- Mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM). Ekonomi pasar hanya dapat berkembang jika disertai dengan pertumbuhan UMKM yang sehat. UMKM tidak hanya merupakan sumber penyedia lapangan pekerjaan, tetapi juga sumber penting untuk inovasi dan kompetisi. UMKM di Korea terhubung dengan industri manufaktur dalam sistem subkontrak yang menandakan hubungan antar industri yang erat
- Melakukan penetrasi ekspor dapat difokus pada eskpor produk-produk yang potensial di pasar internasional, serta diversifikasi pasar dan produk
- Pemerintah bersama para pelaku usaha fokus menggarap pasar non-tradisional, dengan mengoptimalkan fungsi market intelligence di semua negara, khususnya produk ekspor yang memiliki daya saing
- Keberadaan Indonesian Trade Promotion Center dan atase perdagangan di semua negara mutlak dioptimalkan dalam rangka mengidentifikasi peluang pasar, informasi kebutuhan produk, hambatan perdagangan, jaringan distribusi dan logistik
- Upaya lain untuk menciptakan pertumbuhan ekspor yang positif ditempuh dengan cara percepatan hilirisasi industri untuk produk berbasis keunggulan kompetitif. Utamanya, menggeser dari produk berbasis buruh murah dan SDA menjadi berbasis tenaga kerja terampil, padat teknologi, dan dinamis mengikuti perkembangan pasar
0 komentar:
Posting Komentar