Kedelai Malika, Kedelai Hitam Berkualitas Asli Indonesia
Kecap dapat dikatakan sebagai salah satu pelengkap makanan yang kerap digunakan masyarakat Indonesia. Karena itu, kebutuhan akan kedelai hitam sebagai bahan baku kecap memegang peranan penting.
Salah satu peneliti Indonesia yang ikut mengembangkan penelitian kedelai berkualitas adalah Dr. Ir. Setyastuti Purwanti MS, berawal dari keinginan perusahaan swasta yang ingin mengembangkan produk kecap memakai kedelai hitam lokal tertentu.
Namun keinginan itu terkendala produksi kedelai hitam lokal yang terbatas. Akhirnya, Steyastuti dan tim dari Fakultas Pertanian UGM berusaha menyanggup keinginan tersebut. Riset dimulai dengan meneliti berbagai varietas kedelai hitam lokal yang ada.
Hasilnya, kedelai hitam Malika dianggap paling tinggi dibandingkan kedelai hitam lokal lainnya. Sebab, kedelai ini memiliki keunggulan dari sisi ketahanan terhadap kekeringan tanah, genangan air, dan hama. Selepas itu, dilakukan pembudidayaan Malika seberat 40kg dan ternyata sukses.
Tahun 2002, tim kemudian menanam lebih banyak lagi kedelai hitam. Produksinya mencapai lebih dari satu ton. Melihat keberhasilan tersebut, tahun berikutnya para petani di Sleman dan Bantul di Yogyakarta digandeng untuk ikut menanam kedelai ini.
Tahap pertama kerja sama ini, para petani menanam kedelai hitam di lahan seluas 8 hektar di Bantul dan Sleman, ditambah 25 hektar di Klaten, Jawa Tengah. Pada tahap ini, Setyastuti juga memberi petunjuk teknis penanaman dan pendampingan mulai dari proses penanaman hingga panen.
Setelah stok benih tercukupi, langkah berikutnya adalah pemurnian benih melalui seleksi masa positif dan negatif. Pada proses ini, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Kementerian Pertanian diikutsertakan untuk meyakinkan kebenaran hasil yang didapat.
Setelah stok benih tercukupi, langkah berikutnya adalah pemurnian benih melalui seleksi masa positif dan negatif. Pada proses ini, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Kementerian Pertanian diikutsertakan untuk meyakinkan kebenaran hasil yang didapat.
"Saya memisahkan yang di luar tipe negatif dan positif. Saya pun berkali-kali menanam, ada sekitar empat sampai lima kali tanam untuk mendapatkan yang benar-benar tipe Malika," ujar Setyastuti seperti dikutip dari Sumber Inspirasi Indonesia: 20 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa yang diterbitkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Minggu (24/9/2016).
Ada dua jenis kedelai yang digunakan dalam proses pemurnian tersebut yaitu domain bulu coklat atau positif (Malika) dan bulu putih negatif. Rencananya, kedelai bulu putih yang belum dilepas ke petani akan diberi nama Gamalika.
Tahap selanjutnya adalah melakukan uji banding Malika untuk menunjukkan keunggulannya, baik dari sisi adaptasi varietas maupun hasil. Uji banding dilakukan dengan menanam enam varietas di lokasi berbeda.
Penanaman dilakukan pada musim kemarau tahun 2005 dan musim hujan 2006. Uji varietas ini bekerja sama dengan Balai Penelitian Kacang dan Ubi Kementerian Pertanian.
Hanya 17 data yang dianalisis dari 24 data penanaman. Hasil tanaman yang sangat bagus dilakukan di Nusa Tenggara Barat, dengan potensi produksi 1,96 hingga 2,92 ton per hektare.
Adapun penanaman Malika saat ini masih dilakukan di pula Jawa karena lebih ekonomis, terlebih memudahkan proses pengangkutan ke pabrik yang ada di Subang, Jawa Barat. Riset Setyastuti mengenai Malika pun tak pernah berhenti. Ada sekitar 38 judul skripsi, 3 tesis, dan 1 disertasi yang dihasilkan dari penelitian ini.
0 komentar:
Posting Komentar